Thursday, December 01, 2005

Remang biru kamar melingkupiku saat kudengar ketukan halus di pintu
Rindu telah datang rupanya. Kuangkat pantat dari lekuk kursi dan kuayun tubuh membuka pintu untuknya.
Aku Rindu, katanya. Aku tahu, jawabku. Setiap hari kita bertemu, berselisih jalan dan saling memandang lantas membuang muka.
Ia pun masuk dan duduk disisi ranjangku membuka tas mengeluarkan sebatang kretek yang berbunyi halus di sela hisapannya.
Dalam kepulan asap yang pecah saat membubung kupandang raut wajahnya yang terdiam
sesak dadaku entah dipenuhi asap atau jantungku memang terpompa cepat berlomba dengan deras pukulan hujan di jendela kamarku.
Dalam rentang waktu yang terus memanjang, dari awal kumengenalinya aku sudah berusaha menjauh.
Terlalu riskan untuk terus bersama menjadi satu
Kupikir selama ini tembok maya itu selalu berdiri antara aku dan dia
Dan melankoli tak akan pernah menyatukan kita.
Kukeraskan hati dengan logika dan fakta namun netra melelehkannya lagi.
Dan cinta terus menghantam tembok maya hingga ia letih tak sanggup berdiri lagi
Dalam tapak tipis yang kujalin dalam perjalanan waktuku
Rindu tak bisa dibendung lagi, ia pun melaju mengalir seperti perahu kecil menyusurinya
Menemukanku.
Memaksaku melihatmu kembali.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home