Friday, December 09, 2005

Suatu senja
Ketika matahari telah lelah
Dan hanya sanggup memancarkan seserpih cahaya temaram
Yang menorehkan semburat rona jingga keunguan pada paras bumi
Lahirlah si anak ombak
Wajahnya berbuih dan tubuhnya bergelombang
Pelan-pelan dengan berjingkat kecil
diikutinya ibu ombak berlari menuju pantai
“cihuuyy…yuhuuu…” serunya girang
Bertemu dengan ayahnya pasir pantai
Namun setelah berciuman sejenak di bibir pantai
Dengan sapuan pelan mundurlah ibunya
Kembali menuju lautan luas
Pula menarik tangan anak ombak
Yang sontak menangis masih rindu pada ayahnya
“jangan merengek…” bisik ibunya pelan
Dan ketika rengek tangisnya berhenti
Laut mengayun ibu dan anak ombak itu kembali lagi pada ayahnya
“cihuuyy…hore!!
Sebentar bertemu ayahnya, lalu mundur lagi
“aku mau kembaliiiii…” rengeknya lagi
“cihuuyy…hore!!”
“aku mau kembali…”
“cihuuyy…hore!!”
“aku mau kembali…”
Begitu terus…
Sampai sepotong bulan bulat dan bintang maha terik muncul
Dengan selimut beludru hitam langit
Ibu dan anak ombak masih berlakon
Pasir pantai masih menunggu.
“cihuuyy…hore!!”

Tuesday, December 06, 2005

Dalam pekat beludru malam, bermodalkan terik sebuah bintang biru kecil kutuliskan sekali lagi tentang cintaku yang mengalir tiada mengenal hulu padamu.
Dalam kepulan asap rokok kretekmu akan selalu kurindu lembut parasmu yang mulai tergores oleh jejak waktu yang terus merentang tak kenal istirahat. Seolah mengingatkan akan lama hadirmu di alam ini hampir 29 tahun lamanya.
Dunia masih terus menghantammu, mengayunkan tangan kekarnya menghancurkan impian yang telah kau bangun dengan payah dan harapan. Pelan namun pasti masih kau punguti terus remahnya sebagai modal ulang mimpimu.
Meski tak dalam hitungan detik sekalipun kudengar helaan nafasmu, yang entah kamu begitu tabah dan sabar atau mulutmu sibuk bercerita dan menghisap asap kretek yang belum membubung.
Semilir angin lembut mengelus punggungku, masih kudengar semua beban yang memperlambat pacuanmu. Senyum lirih masih tetap tersungging diselanya. Tak pelak tanganku meraih tanganmu seolah mencoba mengangkat beban itu dan mencari intisari dirimu yang terkukung dipagarinya.
Sesaat kutemukan ia yang lemah dan berkata “betapapun aku mencintaimu, kehidupan yang melahirkanku menuntutku berjalan sendiri dan tidak menyeretmu dalam pusarannya”
Kejutku menarik diri dan mundur selangkah. Dunia nyata memanggilku untuk kembali menyusuri setapak jalanku yang bukan jalanmu. Sempat kusesali hadirku yang terlambat 5 tahun.
“jangan cintai aku” gamang suaranya masih terdengar
Malam kian melarutkan dirinya bersama waktu dan lelah semakin mencengkram tubuh tipismu. Sejenak kupandang ragamu yang masih seperti biasa tanpa membiaskan memar dan lebam yang ada dalam jiwamu.
“pulanglah…tak ada lagi yang dapat menenangkan, dalam kesendirianku, aku bebas meniti jalanku”
Bungkam tubuhku melepas jiwa yang tak mau mengerti dan terus menggandeng tanganmu kemanapun kamu berjalan. Di tubuh yang tak bisa mengerti aku hanya diam, tapi jauh di jiwa kutahu kita bersama bebas dan ketika hari itu tiba, kita akan melesat kencang melebihi bintang maha terang menembus nebula dan mati bersama.
“aku adalah belahan jiwamu, berhenti mencintaimu adalah tak mungkin” bisikku pelan mengiringimu lari menerjang hidup yang siap menerkam dan mencabikmu lagi.

Thursday, December 01, 2005

Remang biru kamar melingkupiku saat kudengar ketukan halus di pintu
Rindu telah datang rupanya. Kuangkat pantat dari lekuk kursi dan kuayun tubuh membuka pintu untuknya.
Aku Rindu, katanya. Aku tahu, jawabku. Setiap hari kita bertemu, berselisih jalan dan saling memandang lantas membuang muka.
Ia pun masuk dan duduk disisi ranjangku membuka tas mengeluarkan sebatang kretek yang berbunyi halus di sela hisapannya.
Dalam kepulan asap yang pecah saat membubung kupandang raut wajahnya yang terdiam
sesak dadaku entah dipenuhi asap atau jantungku memang terpompa cepat berlomba dengan deras pukulan hujan di jendela kamarku.
Dalam rentang waktu yang terus memanjang, dari awal kumengenalinya aku sudah berusaha menjauh.
Terlalu riskan untuk terus bersama menjadi satu
Kupikir selama ini tembok maya itu selalu berdiri antara aku dan dia
Dan melankoli tak akan pernah menyatukan kita.
Kukeraskan hati dengan logika dan fakta namun netra melelehkannya lagi.
Dan cinta terus menghantam tembok maya hingga ia letih tak sanggup berdiri lagi
Dalam tapak tipis yang kujalin dalam perjalanan waktuku
Rindu tak bisa dibendung lagi, ia pun melaju mengalir seperti perahu kecil menyusurinya
Menemukanku.
Memaksaku melihatmu kembali.