Friday, February 17, 2006

Aurora, Aurora

Demikian mereka menggumamkan namamu

Memanggilmu yang terlelap jutaan waktu lamanya

dibungkus rajutan mimpi yang menyelimuti tidurmu


Aurora, Aurora

Lebih dari seorang dua pangeran datang dan pergi

Mengusik dan mencoba memboyongmu masuk ke dunia nyata

Sia-sia upayanya

kulai membingkai pejammu, lunglai memberatkan ragamu


Aurora, Aurora

Benang apakah yang menyulam mimpimu

Begitu kuat dan ketat seratnya mengikat

Hingga besi pada gunting teruncing sekalipun

Tak sanggup mematahkannya


Aurora, Aurora

Senyum bekumu mengigau berkata

kuhidup di dalam dekapan hangat selimut mimpiku”

Meredupkan belalak mata mereka yang bangun


Aurora, Aurora

Waktu terus berjalan dalam putaran hidup yang silih berganti

Kami tak bisa berlama-lama terpaku pada poros maya

Bangunlah


Aurora, Aurora

Semu hangatnya mimpi perlahan kan lelehkan jiwamu

Dan dia…tetap tak peduli sekalipun kau tidur lumer sampai mati


Aurora, Aurora

Bangunlah.

Lakon Tuhan


Layar panggung telah diangkat dan lampu menyorot ke satu arah

Pada si aktor pelakon Tuhan

Di tangan kanannya kitab segala kitab

Karya tulis maha dashyat, bertitah hukum pelakon Tuhan

Di tangan kirinya, pedang menyala

Siap menebas siapa yang menentang benaknya.

Pelan naik pasang wajahnya

Angkuh wataknya dalam riasan seorang hakim agung

Pertama dia kutuk para pelaku dosa

Baik dosa yang empat ataupun tujuh

mati kau semua binatang jalang tak tahu diuntung!”

Setebas dua pedangnya menghantam angin busuk nista mereka

Lima menit berikutnya, dia berlakon Tuhan hujatan Nietzche

Membuktikan dia belum mati

Diludahinya manna yang akan dia turunkan dari langit

Bukan sembarang ludah, tapi ludah paling berbisa

Katanya

kuberikan kau kematian nikmat dalam kenyang, daripada kau hidup dalam kelaparan”

Lima belas menit berikutnya

Ia buka kitabnya, membacakan kebenaran Tuhan

Belum selesai monolognya,

Lampu sorot dimatikan dan tirai panggung diturunkan

Lantaran teater itu telah banjir

Oleh muntahan para penonton

Muak melihatnya, berlakon menjadi Tuhan.

Ukuran kakinya tiga puluh lima.

Terlampau kecil untuk sepatu kaca itu

Tapi sangat manis untuk ukuran wanita oriental

Tidak perlu diikat paksa untuk memamerkan jelitanya.

Oh, andaikan kau tahu betapa inginnya ia memakai sepatu kaca itu.

Yang sebening air mengalir dan bunyinya tok, tok, tok

Membuat iri wanita bersepatu manolo blahnik atau jimmy choo.

Dan kalau dia memakainya

Tentu dia akan berdansa dengan pangeran tertampan di pesta.

Bukan terpuruk berbasa-basi dengan tamu-tamu lain.

Malam menyelimuti angkasa dan sepatu kaca masih tergolek cantik di peraduannya.

Dingin dan angkuh pesonanya memancar

Melonjakkan gairah dan menyirap nafas

Betapa ingin ia meraih

Dan membungkus kaki mungilnya dalam pelukan megah

Sepasang sepatu kaca.

For a dearly sister with the smallest beautiful feet